Wanita Ini Bangkit dari Kemiskinan Berkat Eceng Gondok, Begini Kisahnya
![Wanita Ini Bangkit dari Kemiskinan Berkat Eceng Gondok, Begini Kisahnya](https://socialstatic.fmpstatic.com/social/202407/d04340f113fbcffa5fc5c233c0410e4b39ba8235.jpg?x-oss-process=image/quality,q_70)
Eceng gondok kerap dianggap sebagai tanaman gulma yang dapat mengancam keberlanjutan ekosistem perairan. Namun, di tangan Wiwit Manfaati, eceng gondok berhasil disulap menjadi aneka kerajinan seperti tas dan hampers bernilai tinggi.
Wiwit bercerita bagaimana tanaman berwarna hijau ini mampu menghidupi dirinya dan keluarganya. Padahal sebelum memutuskan berbisnis, keluarganya dilanda kemiskinan dan ia hanyalah ibu rumah tangga.
"Saya itu memulai usaha tahun 2008, berangkat dari pelatihan di kelurahan kami. Jadi di Kelurahan Kebraon ada pelatihan untuk warga, ada 30 orang, saya satu di antaranya itu. Selama 10 hari bikin kerajinan eceng gondok," ujar Wiwit kepada detikcom, ditulis, Selasa (23/7/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lulusan sarjana Teknik Informatika ini menyebut bisnis kerajinannya tidak langsung berjalan mulus. Kerap kali ia merasa tak puas dengan hasil karyanya namun terus melakukan perbaikan.
Meski sudah mengikuti beberapa pameran di pusat perbelanjaan, produk buatannya tak kunjung laku. Kritik pedas sempat dilontarkan Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya kala itu.
"Tahun 2010 itu saya kan sering dikasih pameran gratis di mal sama Dinas di sini, tapi nggak laku. Mungkin karena kurang menarik ya, makanya nggak banyak yang beli. Dari situ saya perbaiki produk saya. Sampai ketemu lah sama Bu Risma, terus dikasih tantangan. 'Lah masa kok kayak gini'. Dia kan bilang 'kok jelek sih'. Saya tertantang, saya perbaiki, saya pakai handle kulit, pakai yang berkelas gitu lah, akhirnya mulai bisa diterima pasar," sambung Wiwit.
Ia juga mengaku sempat dibantu Risma untuk rebranding hingga diberi desainer gratis untuk usahanya. Lalu sejak 2012, nama Witrove mulai digunakan, desain terus diperbaiki hingga akhirnya produknya dapat diterima di pasar. Witrove kini lebih fokus melayani pasar kelas menengah atas.
"Awalnya tidak mudah begitu saja. Jungkir baliknya juga banyak. Awalnya saya berangkat dari keluarga miskin, modal pelatihan itu saja. Akhirnya juga bisa usaha ini, bisa menghidupi kami sekeluarga, dan kami bisa branding nama, toko, dan tawaran makin banyak," terang dia.
![]() |
Wanita yang berdomisili di Kota Surabaya ini bercerita, modal awal merintis bisnis eceng gondok hanya Rp 20 ribu untuk pembuatan kerajinan tas. Modal tersebut dipakai membeli eceng gondok hingga perlengkapan dasar produksi tas.
"Rp 20.000 doang. Kan waktu itu eceng gondok masih Rp 1.500, nah Rp 20 ribu itu saya pakai beli eceng gondok 1 kilo. Terus kemudian saya pakai untuk beli handle tas, kain dalemannya. Terus abis itu, begitu dapat uang saya belanjakan lagi, ya diputar di situ uangnya," imbuhnya.
"Dan itu berhasil menghidupi keluarga sampai sekarang. Penghasilan saya di situ semua. Suami saya pernah ketipu bisnis sama temannya, kita terjerat utang banyak, sekarang kita hidup dari eceng gondok. Ya walaupun awalnya susah payah, apalagi anak tiga, sekolah semua," katanya lagi.
Ia mengaku bisa meraup omzet hingga puluhan juta rupiah per bulan dengan mengolah eceng gondok. Bahkan ia pernah menerima Rp 1,5 miliar pada 2018 untuk pengerjaan proyek selama delapan bulan dari Risma dalam pengerjaan 7.000 buah produk. Namun Wiwit mengaku penjualannya saat ini tidak sebagus seperti sebelum pandemi Covid-19.
Wiwit sempat menjelaskan proses pengolahan eceng gondok menjadi produk kerajinan. Awalnya eceng gondok diambil dari waduk yang berlokasi tak jauh dari rumahnya untuk kemudian dijemur selama satu minggu. Eeceng gondok juga harus melalui proses pengasapan selama satu hari satu malam.
"Kemudian kita asap pakai belerang sama arang. Kita ambil asapnya doang, itu sehari semalam. Abis itu kita jemur lagi supaya nggak lembab. Abis dijemur baru dibawa pulang untuk dianyam," sebutnya.
Ia menjelaskan, banyak tidaknya eceng gondok yang diolah tergantung dari pesanan yang masuk. Wanita yang dulunya aktivis ini memanfaatkan tenaga kerja lokal lewat sistem pemberdayaan. Adapun produk yang dihasilkan mencakup tas, tempat tisu, meja, kursi, sandal, hingga pembatas ruangan.
"Kisaran harga dari Rp 25 ribu sampai Rp 2 juta. Yang paling mahal itu pembatas ruangan, karena besar. Yang paling murah itu kayak piring yang gitu-gitu lah," sebut dia.
Saat ini produk Wiwit dengan brand-nya Witrove berhasil mejeng di gerai Gramedia, MR. DIY, hingga Sarinah. Produk Witrove juga dijual online di media sosial dan e-commerce, hingga berhasil tembus ke pasar luar negeri. Witrove beberapa kali mengikuti pameran di luar negeri, seperti Guangzhou, China, Seoul, Korea Selatan, Belanda, Inggris, hingga Dubai.
(ily/ara)Reprinted from detik_id,the copyright all reserved by the original author.
Disclaimer: The content above represents only the views of the author or guest. It does not represent any views or positions of FOLLOWME and does not mean that FOLLOWME agrees with its statement or description, nor does it constitute any investment advice. For all actions taken by visitors based on information provided by the FOLLOWME community, the community does not assume any form of liability unless otherwise expressly promised in writing.
FOLLOWME Trading Community Website: https://www.followme.com
Hot
No comment on record. Start new comment.