Deretan Saham Big Cap Terkena Flash Sale Asing
IDXChannel – Mayoritas saham di pasar domestik tak luput dari aksi jual besar-besaran pada Senin (5/8) seiring munculnya ketakutan risiko resesi Amerika Serikat (AS), tensi di Timur Tengah, hingga berakhirnya era carry trade Yen Jepang.
Investor asing pun keluar dari pasar saham RI dan melego sejumlah saham emiten raksasa (big cap).
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun 3,40 persen ke 7.059,65 per saham usai sebanyak 592 saham memerah dan hanya 62 saham yang menghijau. Sisanya, 134 saham stagnan.
Nilai transaksi mencapai Rp14,26 triliun dan volume mencapai 24,94 miliar saham, terbilang tinggi dibandingkan rerata 20 hari terakhir.
Investor asing melakukan jual bersih (net sell) di bursa saham Tanah Air senilai Rp605,94 miliar di pasar reguler.
Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), yang notabene memiliki kapitalisasi pasar (market cap) terbesar, menjadi sasaran utama net sell asing, dengan nilai Rp412,7 miliar.
Saham bank Grup Djarum tersebut pun melorot 3,19 persen pada Senin ke Rp9.875 per saham.
Di bawah BBCA, saham bank BUMN PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) juga mengalami net sell jumbo, yakni sebesar Rp332,8 miliar di pasar reguler. Saham BBRI melemah 3,82 persen.
Kemudian, dua emiten besutan taipan Prajogo Pangestu PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) juga masing-masing mencatatkan net sell asing Rp91,4 miliar dan Rp60,5 miliar.
Saham TPIA jatuh 6,93 persen dan BREN tergelincir 8,14 persen.
Saham emiten energi PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) turut masuk ke daftar saham yang dilepas asing pada Senin, dengan nilai net sell Rp53,1 miliar. Saham AKRA terdepresaisi 7,87 persen.
Kemarin, bursa global, termasuk Asia, merah membara. Indeks Nikkei Jepang anjlok 12,40 persen hingga KOSPI Korea Selatan tumbang 8,77 persen, di tengah berakhirnya era carry trade yen Jepang.
Kenaikan suku bunga oleh Bank of Japan (BoJ) pada 31 Juli lalu dan pengurangan pembelian obligasi telah menyebabkan penguatan mata uang Yen, yang kini mencapai level tertinggi dalam empat bulan terakhir.
Mengutip BRI Danareksa, Senin (5/8), ekspektasi pemotongan suku bunga oleh The Fed dan keputusan Bank of England (BoE) menambah kekhawatiran akan likuidasi carry trade yen, memaksa peminjam Yen untuk menutup posisi short mereka dan menjual aset di negara-negara dengan imbal hasil tinggi, terutama di Wall Street.
Carry trade adalah strategi perdagangan yang sangat populer di mana investor meminjam dari negara dengan suku bunga rendah dan mata uang lemah dan menginvestasikan kembali uang tersebut dalam aset negara lain dengan tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Carry trade bisa dibilang menjadi salah satu sumber arus dana terbesar di pasar mata uang global.
Menurut catatan Economics Times, meskipun carry trade juga lazim dilakukan dengan beberapa mata uang, yen Jepang dianggap sebagai salah satu mata uang yang paling banyak digunakan untuk tujuan ini.
Dalam carry trade yen, investor, termasuk investor ritel Jepang meminjam dengan suku bunga rendah di dalam Negeri Sakura tersebut dan membeli aset di negara lain dengan imbal hasil lebih tinggi, seperti saham dan obligasi luar negeri.
Pasar saham AS alias Wall Street menjadi favorit dalam beberapa waktu terakhir seiring penguatan dolar AS.
Namun, seperti dicatat Algo Research, Senin (5/8), aksi investor mengurangi leverage (penggunaan utang sebagai modal investasi) dan menutup posisi di semua aset berisiko menjadi penyebab mengapa saham-saham global ambruk pada Senin.
Hal tersebut, kata Algo, merupakan sentimen negatif bagi semua pasar, termasuk Indonesia, karena aliran dana institusi asing kemungkinan besar akan berpindah ke obligasi dan uang tunai (cash) terlebih dahulu sebelum masuk ke saham.
Di Amerika Serikat (AS), indeks Dow Jones ditutup turun 2,60 persen, S&P 500 minus 3,00 persen, dan Nasdaq—yang sarat saham teknologi—jeblok 3,43 persen.
Analis BRI Danareksa Sekuritas menulis, ekonomi AS menunjukkan tanda-tanda kelemahan yang semakin parah, mengindikasikan risiko resesi, memicu spekulasi bahwa The Fed akan segera memangkas suku bunga.
BRI Danareksa melihat, tingkat pengangguran AS meningkat menjadi 4,3 persen pada Juli 2024, tertinggi dalam hampir tiga tahun.
Aturan Sahm kini menandakan resesi, kata BRI Danareksa, memaksa The Fed mempertimbangkan langkah pemotongan suku bunga untuk menjaga stabilitas ekonomi. (Aldo Fernando)
Reprinted from Idxchannel,the copyright all reserved by the original author.
Disclaimer: The content above represents only the views of the author or guest. It does not represent any views or positions of FOLLOWME and does not mean that FOLLOWME agrees with its statement or description, nor does it constitute any investment advice. For all actions taken by visitors based on information provided by the FOLLOWME community, the community does not assume any form of liability unless otherwise expressly promised in writing.
FOLLOWME Trading Community Website: https://www.followme.com
Hot
No comment on record. Start new comment.