Pasardana.id - Bitcoin, sebagai aset kripto terkemuka, telah mengalami fluktuasi signifikan selama beberapa bulan terakhir.
Antara tanggal 3 - 7 Oktober, harga Bitcoin sempat naik 5,2 persen.
Namun, hingga saat ini, harga tersebut masih belum mampu menembus batas US$ 66.000 sejak akhir Juli.
Meskipun meningkatnya utang pemerintah Amerika Serikat diperkirakan dapat menjadi katalis dalam jangka panjang, dampaknya dalam waktu dekat ternyata masih sangat terbatas.
Menurut Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, salah satu faktor kunci yang menghambat pergerakan Bitcoin adalah penguatan nilai dolar Amerika.
“Sejak akhir September, Dolar AS telah menunjukkan tren penguatan dengan Indeks Dolar AS (DXY) naik dari 100,4 menjadi 102,5 pada awal Oktober. Kekuatan dolar ini menandakan bahwa investor lebih memilih memegang dolar ketimbang aset berisiko seperti Bitcoin, meskipun ada kekhawatiran mengenai utang pemerintah AS,” ujar Fyqieh seperti dilansir dalam siaran pers, Kamis (10/10).
Selain faktor penguatan dolar AS, kondisi global seperti ketidakpastian ekonomi, konflik di Timur Tengah, serta Pemilihan Presiden AS mendatang turut memengaruhi minat investor terhadap Bitcoin.
Data pekerjaan Amerika Serikat untuk bulan September yang dirilis pada 4 Oktober menunjukkan bahwa ekonomi AS tetap kuat.
“Hal ini meredakan risiko resesi, namun mengurangi peluang pemotongan suku bunga oleh The Fed,” jelas Fyqieh.
Lebih lanjut disampaikan, suku bunga yang tinggi juga menjadi alasan mengapa investor lebih berhati-hati terhadap aset berisiko seperti Bitcoin.
Ketika suku bunga tetap tinggi, aset dengan risiko rendah seperti obligasi menjadi lebih menarik.
“Investor lebih memilih memarkir modal mereka di instrumen yang lebih stabil dibandingkan mengambil risiko pada Bitcoin,” tambah Fyqieh.
Sementara itu, kebijakan stimulus ekonomi yang diumumkan China turut berperan dalam mengurangi daya tarik Bitcoin sebagai aset lindung nilai.
Dengan adanya stimulus tersebut, lanjut Fyqieh, kebutuhan untuk menggunakan Bitcoin sebagai pelindung terhadap inflasi atau ketidakpastian ekonomi menurun.
Di sisi lain, risalah pertemuan The Fed bulan September yang dirilis Kamis (10/10) dinihari, semakin menambah ketidakpastian bagi pasar.
Pelaku pasar yang sebelumnya optimis bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) pada November kini lebih ragu.
“Investor semakin khawatir karena kebijakan moneter masih belum pasti, yang berdampak buruk pada Bitcoin,” kata Fyqieh.
Meskipun demikian, data inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) yang akan dirilis akan menjadi titik fokus utama.
“Jika data ini menunjukkan inflasi yang stabil, harapan untuk pemangkasan suku bunga bisa kembali mencuat, yang dapat mendukung kenaikan harga Bitcoin,” imbuhnya.
Selain kebijakan moneter, Pemilihan Presiden AS yang semakin dekat juga berpotensi menambah volatilitas di pasar.
Menurut Fyqieh, periode menjelang pemilu biasanya dipenuhi dengan ketidakpastian, dan banyak investor cenderung memilih untuk menahan modal mereka.
Namun, Fyqieh memperkirakan bahwa jika Donald Trump unggul dalam pemilu, harga Bitcoin bisa mencapai US$90.000.
“Peluang kemenangan Trump bisa menjadi katalis untuk Bitcoin, namun hasil akhirnya tetap tergantung pada bagaimana pasar merespons hasil pemilu secara keseluruhan,” kata Fyqieh.
Meskipun saat ini Bitcoin tampak kesulitan menembus level US$66.000, banyak faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pergerakan harga dalam beberapa bulan ke depan.
“Investor perlu terus memantau kebijakan The Fed, perkembangan pemilu, serta kondisi ekonomi global untuk memahami arah pasar kripto ke depannya,” tandasnya.
Hot
No comment on record. Start new comment.