Pasardana.id - PT pertamina (Persero) melalui Pertamina Power & New Renewable Energy (Pertamina NRE) menargetkan pabrik bioetanol di Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, sudah bisa beroperasi mulai tahun 2026. Setelah sukses melaksanakan program biodiesel, perusahaan berkomitmen mengembangkan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN).
Pertamina NRE sudah melakukan kerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) secara jangka panjang, untuk membangun pabrik molase untuk mengolah bioetanol sebesar 30.000 kiloliter per bulan. Selain itu, perusahaan juga sudah menandatangani kerja sama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) membangun pabrik bioetanol di Glenmore, Kabupaten Banyuwangi dengan kapasitas yang sama.
"Saat ini kita memilki action plan rencana kerja untuk kita membangun bioetanol plant baru di Banyuwangi dengan kapasitas 30.000 kiloliter per tahun. Diharapkan dua tahun kedepan sudah beroperasi," ungkap Direktur Manajemen Risiko Pertamina NRE, Iin Febrian saat Repnas National Conference & Awarding Night, Senin (14/10).
Selain itu, Pertamina NRE juga bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan basis perkebunan sorgum dan jagung sebagai bahan baku bioetanol.
Kerja sama ini diharapkan dapat mengeksplorasi potensi pengembangan bioetanol melalui identifikasi potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman energi di NTT seperti tebu, jagung, singkong, dan lainnya.
"Kita juga telah membangun nota kesepahaman dengan Pemprov NTT untuk melihat potensi lokal di sana yang bisa dikembangkan untuk biofuel bioetanol baik dari jagung atau sorgum," lanjut Iin.
Implementasi bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) telah dimulai oleh Pertamina melalui peluncuran produk Pertamax Green 95 pada 2023.
Sebelumnya, Iin mengungkapkan peta jalan alias roadmap program mandatory bahan bakar nabati (BBN) bioetanol. Indonesia saat ini masih uji coba campuran bioetanol 5 persen (E5) dengan bensin secara terbatas.
"Kita lihat bahwa dari semua rantai mata pasok, dari hulunya, kita kemudian bangun nanti feedstock yang ada di daerah-daerah. Baik itu terkait dengan gula, jagung, dan seterusnya," ujarnya, September lalu.
Iin menuturkan, formula industri bioetanol dari hulu sampai didistribusikan kepada konsumen bisa menciptakan nilai tambah hingga USD 8,5 miliar atau sekitar Rp 128 triliun.
"Formulanya yang sangat moderat, kita lebih kurang USD 6 billion, sementara di skenario optimis itu mencapai USD 8,5 billion. Angka yang sangat besar," imbuh dia.
Di sisi lain, Iin juga melihat terdapat peluang yang lebih besar sebagai efek pengembangan bioetanol di Indonesia, yakni peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga lapangan pekerjaan yang besar. Selain itu, lanjut Iin, hal ini juga bisa membentuk efek ganda terhadap ekonomi apabila Indonesia bisa sukses mengembangkan bioetanol sesuai dengan lokasi bahan baku, terutama di wilayah Indonesia timur seperti Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Nanti demand nasional dengan hanya E5 itu lebih kurang 1,3 juta kiloliter per bulan. Dengan hanya E5, tentu kita bisa proyeksikan apabila menjadi E10, E20, seperti kembali lagi keberhasilan yang kita harapkan di biodiesel. Itu yang kami lakukan dan akan terus lakukan," tukasnya.
Hot
No comment on record. Start new comment.