Pasardana.id - Pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, menandai peralihan kepemimpinan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.
Sebagai negara yang berkomitmen menjaga suhu bumi di batas 1,5 derajat Celcius, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia untuk memprioritaskan transisi energi berkeadilan untuk menumbuhkan ekonomi berkelanjutan, terutama di tingkat daerah.
IESR menilai, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memainkan perannya untuk mendukung percepatan transisi energi yang adil secara efektif di tingkat daerah. Meski 33 provinsi di Indonesia telah memiliki Rencana Umum Energi Daerah (RUED), banyak dari rencana tersebut seharusnya sudah perlu ditinjau ulang karena sudah lima tahun sejak dirilis.
Tidak hanya itu, hingga tahun 2022, hanya tujuh provinsi yang berhasil mencapai target realisasi bauran energi terbarukannya. Secara rata-rata, selisih antara target dan realisasi bauran energi terbarukan yang belum tercapai adalah 10%.
Koordinator Riset Sosial Kebijakan dan Ekonomi, IESR Martha Jesica memaparkan, tantangan terbesar dalam implementasi RUED adalah keterbatasan kapasitas fiskal serta jalur perencanaan energi daerah yang panjang karena harus diselaraskan dengan rencana pembangunan daerah.
Menurut dia, kewenangan tambahan untuk pengelolaan energi terbarukan dari Perpres 11/2023 di tingkat daerah memberikan kesempatan bagi daerah untuk berperan lebih besar dalam transisi energi. Namun, katanya, diperlukan dukungan kebijakan fiskal yang memadai agar daerah dapat mengoptimalkan tambahan kewenangan ini untuk mendukung pencapaian target energi terbarukan.
“Selain itu, proporsi alokasi belanja program energi terbarukan dalam urusan energi di daerah saat ini masih rendah, dengan rata-rata sebesar 18%," ucap Martha, Rabu (23/10/2024).
Martha menjelaskan, hal itu menunjukkan bahwa meskipun potensi energi terbarukan sangat besar di Indonesia, upaya realisasinya masih memerlukan penguatan dan koordinasi yang lebih baik.
Untuk mengatasi tantangan tersebut demi mempercepat transisi energi, IESR merekomendasikan tiga langkah strategis.
Pertama, pemerintah pusat perlu menyusun kerangka kebijakan jangka panjang yang jelas dan merincikan implementasi hingga tingkat utilitas. Kebijakan ini harus mencakup dukungan regulasi yang memungkinkan percepatan investasi di sektor energi terbarukan.
Kedua, penguatan kualitas anggaran dan kebijakan fiskal-moneter yang mendukung investasi energi terbarukan perlu dilakukan, dengan memperbaiki alokasi belanja publik yang lebih fokus pada energi bersih.
Ketiga, pelibatan pemerintah daerah, lembaga pendidikan lokal, dan masyarakat dalam perencanaan serta implementasi transisi energi menjadi kunci utama. Partisipasi aktif dari berbagai pihak di daerah akan mendorong realisasi yang lebih cepat dan efisien.
Sementara itu, Dyah Perwitasari, Perencana Ahli Pertama, Kementerian PPN/Bappenas menuturkan, pemerintah telah mengintegrasikan transisi energi berkeadilan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Kebijakan tersebut diarahkan untuk mendorong penerapan ekonomi hijau berbasis pembangunan rendah karbon.
“Energi berperan sebagai modal dasar untuk transformasi ekonomi sekaligus sebagai daya dukung pembangunan di segala bidang. Untuk itu dibutuhkan perencanaan yang THIS (Thematic, Holistic, Integratif dan Spasial) untuk memperkuat ketahanan energi, salah satunya melalui transisi energi,” jelas Dyah.
Hot
No comment on record. Start new comment.