Pasardana.id - Pemerintah, mulai Rabu, 1 Januari 2025 memastikan akan mengimplementasikan program bahan bakar minyak (BBM) solar dengan campuran minyak sawit dengan konsentrasi 40 persen (B40).
Hal tersebut diungkap Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot lewat keterangan resminya yang dikutip Minggu, (29/12).
Ia menyampaikan, kebutuhan biodiesel untuk mendukung mandatory B40 diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Angka tersebut mencakup distribusi ke seluruh Indonesia, sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama.
"Kami dengan tim turun mengecek kesiapan implementasi B40 yang akan dimulai pada 1 Januari 2025. Kami sudah melihat sendiri kesiapan dari sisi industri fatty acid methyl ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati," ujar Yuliot.
Ditegaskan Yuliot, penerapan biodiesel 40 persen (B40) pada tahun depan sebagai bagian dari upaya pemerintah mencapai ketahanan energi. Hal ini, tentu saja sejalan dengan yang dikatakan sejalan dengan asta cita Presiden RI Prabowo Subianto yang menetapkan ketahanan pangan dan energi sebagai prioritas nasional.
Meski begitu, kata Yuliot, terdapat tantangan dalam penerapan B40. Tidak hanya terkait dengan ketersediaan bahan baku, tetapi juga kondisi geografis yang beragam di Indonesia.
"Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40," ujarnya.
Sebagai infodmasi, Pemerintah telah menyelesaikan uji coba penggunaan B40 di sektor otomotif. Saat ini pengujian masih tengah dijalankan di sektor alat berat pertambangan, perkeretaapian, kelautan, alat dan mesin pertanian (alsintan).
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Didik Bahagia menyampaikan Pertamina telah menyiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi B40. Yakni, Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Adapun pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga.
"Pada dasarnya, kilang kami rata-rata memproduksi bahan bakar B0, dan insyaallah siap untuk memproduksi B40. Kilang yang akan memproduksi B40 adalah RU III Plaju dan RU VII Kasim, sementara blendingnya dilakukan oleh Patra Niaga," bebernya.
Ia pun mengaku bahwa selain B40, pihaknya telah berhasil memproduksi bioavtur atau sustainable aviation fuel (SAF) dengan campuran 2,4 persen bahan bakar berbasis sawit. Produksi ini dilakukan di Green Refinery Kilang Cilacap melalui metode co-processing.
Didik menyampaikan, kapasitas pengolahan bioavtur saat ini mencapai 9.000 barel per hari (bph), dengan bahan baku dari produk turunan kelapa sawit, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO).
"Uji coba telah dilakukan menggunakan pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-800 untuk rute Jakarta-Solo pulang pergi," terang Didik.
Sementara itu, sebelumnya Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung memperkirakan, program mandatori penerapan campuran biodiesel 40 persen dengan minyak solar dapat menghemat devisa negara hingga USD15 miliar atau sekitar Rp242 triliun (kurs Rp16.185).
Dari data yang dipaparkan Tungkot, penghematan devisa impor solar mengalami peningkatan dari Rp3,7 triliun di 2018 menjadi Rp121,5 triliun di 2023 dengan penerapan B35. Sejak 2024, Indonesia menjadi net importir minyak fosil.
Maka, dengan adanya peningkatan biodiesel, Indonesia perlahan mulai mengurangi ketergantungan impor fosil dan digantikan dengan unsur nabati lewat mandatori biodiesel. Meningkatnya konsumsi biodiesel domestik tercatat mengurangi ketergantungan penggunaan impor solar dari 41 persen di 2011 menjadi 18 persen di 2023.
"Kalau mandatori biodiesel ini naik menjadi B40 bisa menghemat devisa sekitar USD11 miliar-USD15 miliar (Rp211 triliun-Rp244 triliun). Ini tergantung harga solar internasional," ujarnya dalam diskusi Strategi Meningkatkan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Melalui Hilirisasi beberapa waktu lalu.
Ia menyampaikan tujuan peningkatan program biodiesel selain untuk substitusi impor solar juga diperlukan sebagai instrumen stabilitas harga minyak sawit dunia. Pasalnya, Indonesia merupakan produsen minyak sawit atau crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan menyumbang setidaknya 59 persen pasokan minyak sawit global.
"Jika tidak dibutuhkan untuk mendongkrak harga internasional, tidak perlu kita paksakan, mandatori biodiesel. Tapi, kalau harga pasar internasional perlu kita gerakan bisa kita terapkan B40," tegasnya.
Hot
No comment on record. Start new comment.